Banyak pemuda yang melakukan kesalahan fatal dengan memahami nash-nash islam. Mereka mengharapkan anda berfatwa membolehkan suatu tindakan agar mereka dapat menjadikan fatwa (yang dianggap relevan dan reformatif ini ) sebagai penyelamat kehidupan serta jalan mencari perhatian yang lebih besar.
Jika seorang Alim yang membolehkan suatu permainan yang bersifat sementara atau pada kesempatan terbatas, mereka bertambah leluasa yang dengan semuanya itu mereka akan mejadikan seluruh kehidupannya sebagai permainan. Pemahaman yang salah dan destruktif terhadap islam ini disanggah oleh Muhammad Al-Ghazali, seraya berucap: ”Saya akui, saya seorang muslim senang dengan kehidupan dan segala kebaikannya, sesungguhnya Allah SWT telah menambahkan kelonggoran dan memberikan kebaikan kepadamu. Merupakan kebodohan besar bila saya harus menolak dan membuang semua kemuliaan yang telah dicurahkan kepadaku, serta tidak mau bersyukur. Dia telah memberikan semuanya tanpa menuntut balasan apapun kecuali pengakuan dan rasa syukur. Apakah semuanya itu tawaran yang berat ? meskipun demikian banyak dari manusia yang menolak tawaran ini.”
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-ku yang besyukur.”(saba: 13)
Bertolak dari hal itu, saya melihat apa yang telah dijadikan peradaban, baik kuno maupun modern. Sebagaimana islam telah mengajarkan kepada kita, dimana Allah SWT berfirman:
“Dialah yang telah menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu.”(Al-Baqarah: 29).
Dari ayat tersebut lahirlah kaidah shuliyah:
“Hukum pokok dalam segala rupa perkara ialah kebolehan, hingga ada dalil yang menunjukan kepada haramnya”.
Pada kenyataannya ada beberapa orang (yang telah diberikan hidayat oleh Allah SWT) senang menggunakan kata haram dalam menghukumi sesuatu, metode yang digunakan dalam menentukan hukum berbeda dengan metode yang digunakan oleh Nabi SAW yang dalam menentukan dua masalah, memilih mana yang lebih mudah untuk dilaksanakan, selama hal itu tidak bertentangan syari’at islam.
Sekarang ini, peradaban modern telah menyebar kemana-mana seperti radio, televisi, sarana tranformasi budaya dan lain sebagainya. Bukan saran dan alat-alat tersebut yang bertanggung jawab atas apa yang telah disajikannya, melainkan para penyelenggara, pelaksana, penyanyi, pragawati, artis dan actor yang bertanggung jawab atas semuanya itu. Untuk itu hendaklah mereka berusaha menyajikan hak-hak yang bermanfaat dan menghindari segala yang mendatangkan madlarat (bahaya).
Kita dapat menggunakan sarana dan alat-alat tersebut untuk menyebarkan bahasa yang baik, membiasakan dan melindungi moral dan menanamkan kebaikan pada semua manusia. Bahkan kita dapat mendidik banyak orang untuk menekuni ilmu-ilmu yang kita sangat membutuhkannya. Sehingga kita dapat mengangkat manusia dari pengangguran yang hanya merugikan kehidupan manusia.
Adat kebiasaan yang buruk, baik itu hasil warisan nenek moyang maupun impor yang telah mengkristal dalam jiwa banyak generasi islam, harus kita enyahkan. Hal itu dapat dilakukan kecuali oleh umat sadar bahwa mereka mempunyai misi dala kehidupan ini, sedangkan umat yang rendah akhlak dan martabatnya tidak akan terpanggil untuk itu.
Dari uraian di atas, bukan berarti saya menentang dan anti lagu-lagu, music dan kesenangan, tetapi berdasarkan analisa, bahwa orang arab dan banyak dari umat islam menginginklan sedikit kerja banyak menyanyi.
Lagi, tidak bedanya dengan omongan, ada yang baik dan ada pula yang buruk. Orang menyanyi atau mendengarkan lagu-lagu yang baik bermakna mulia dan menyanyikan dengan nada dan gaya yang indah, maka tidak ada larangan untuk itu untuk hal itu. Dan kita hanya menentang dan menilai lagu-lagu yang tidak mendidik, bermakna buruk dan dinyanyikan dengan nada dan gaya yang amburadul. Sebagian fuqaha belum menemukan hadits shahih yang mengharamkan lagu mutlak. Argumentasi sebagian mereka adalah firman Allah SWT, yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan diantara manusia ada yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu memperoleh azab yang menghinakan dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah dia belum mendengarnya.” (Lukman: 6-7)
Saya yakin, orang mempergunakan perkataan yang tidak berguna dengan factor-faktor sebagaimana tersebut di dalam ayat, maka dia berhak mendapatkan azab yang pedih, sedangkan orang yang menyanyi untuk mengendorkan urat-urat yang tegang (menghibur diri) dengan suara lembut, nada yang baik dan bermakna mulia, maka hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan ayat tersebut di atas. Sebagimana yang diutarakan oleh Ibnu Hazm: “Barang siapa yang mempergunakan Al-Quran untuk menyesatkan orang maka dia berbuat dosa besar”.
Lagu yang diiringi dengan hal-hal yang haram seperti dengan minum khamar, perbuatan yang tidak terpuji atau dengan kesenian-kesenian yang tidak mendidik, inilah standar yang dijadikan pijakan para ulama dalam mengharamkannya, dimana mereka sangat beralasan sekali.
Kembali kepada pembicaraan awal kita, bahwa umat kita sekarang ini sangat membutuhkan semangat dan etos kerja yang tinggi dan sedikit bermain. Bila kreasi para seniman mangandung makna-makna mulia dan daya pembangkit semangat, maka kesenian dapat dijadikan alat membangun bukan merusak, membangkitkan naluri kemanusiaan yang baik bukan menanamkan rasa cinta dunia yang berlebih-lebihan.
Yang penting, hendaklah keadilan selalu mewarnai tindakan manusia, jangan sampai kesalahpahaman selalu merongrong. Letakanlah segala sesuatu pada tempat dan waktunya, mana fardlu ‘ain, mana fardlu kifayah, mana sunah dan mana yang mubah, letakanlah semuanya itu pada porsinya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar