Nama Abu nawas begitu popular sehingga cerita-ceritanya yang mengandung humor banyak juga dinisbatkan berasal dari Abu Nawas.
Tokoh semacam Abu Nawas yang mampu mengatasi berbagai persoalan-persoalan rumit dengan style humor atau bahkan humor politis juga tidak hanya ada di negri Baghdad. Kita mengenal syehkh juha yang hamper sama piawainya dengan Abu Nawas juga Nassarudin Hoja sang sufi yang lucu namun cerdas. Kita juga mengenal kabayan di Jawa barat yang konyol namun ternyata juga cerdas.
Abu Nawas ! setelah mati pun masih bisa membuat orang tertawa. Di depan makamnya ada pintu gerbang yang terkunci dengan gembok besar sekali. Namun di kanan kiri pintu gerbang itu pagarnya bolong sehingga orang bisa leluasa masuk untuk berziarah kemakamnya. Apa maksudnya dia buat demikian. Mungkin itu adalah symbol watak Abu Nawas yang sepertinya tertutup namun sebenarnya terbuka, ada sesuatu yang mesteri pada diri Abu Nawas, ia sepertinya bukan orang biasa, bahwa ada yang meyakini bahwa dari kesederhanaannya ia adalah guru sufi namun ia tetap dekat dengan rakyat jelata bahkan konsis mebela mereka yang lemah dan tertindas.
Begitu banyak cerita lain yang diadobsi menjadi kisah abu nawas sehingga kadang-kadang cerita tersebut agak tidak masuk akal bahkan terlalu menyakitkan orang timur, saya curiga jangan-jangan cerita-cerita Abu Nawas yang sangat aneh itu sengaja diciptakan oleh kaum orientalis untuk menjelek-jelekan masyarakat Islam. Karena itu membaca cerita Abu Nawas kita harus kritis dan waspada.
Siapakah Abu Nawas ? Tokoh yang dianggap badut namun juga dianggap ulama besar ini, sufi, tokoh super lucu yang tiadak bandinganya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa arab dan adat istiadat dan kegemaran orang-orang arab. Ia juga pandai bersyair, berpantun, dan menyanyi. Ia sempat berpulang ke negrinya, namum pergi lagi ke Baghdad bersama Ayahnya, keduanya mengahambakan diri kepada sultan Harun Al-Rasyid Raja Baghdad.
Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan (hakim) Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang tua itu sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Abu Nawas dipanggil ke istana. Ia diperintah sultan untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syekh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiadak bedanya dengan kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah, hingga mengkafani, menshalati dan mendo’akannya. Maka sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.
Namun …demi mendengar rencana sang Sultan tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.
Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil sepotong batang pisang dan diperlakukan seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang-orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.
Pada hari-hari lain ia mengajak anak-anak kecil dengan jumlah yang cukup banyak untuk pergi kemakam bapaknya. Dan diatas makam bapaknya itu ia bermain rebana dan bersuka cita.
Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu , mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati bapaknya.
Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari sultan Harun Al-Rasyid datang dan menemui Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” Kata wazir utusan Sultan.
“Buat apa sultan memanggil, aku tidak ada keperluan dengannya.” Jawab abu nawas dengan entengnya tanpa beban.
“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”
“Hai Wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar.” Kata abu nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan ku-kudaan.
Si wazir hanya geleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Abu Nawas.
“Abu Nawas kau mau tidak menghadap sultan ?” kata Wazir
“katakana pada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” Kata Abu Nawas
“Apa maksudnya Abu Nawas ?” Tanya wazir dengan rasa penasaran.
“sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” Segah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar kearah si wazir dan teman-temannya.
Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada sultan Harun Al Rasyid.
Dengan geram sultan berkata: “kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus ! ayo pergi sana kerumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa.”
Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.
Namun lagi-lagi dihadapan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.
“Abu Nawas bersikaplah sopan !”tegur Baginda.
“Ya Baginda tahukan anda….?
“Apa Abu Nawas …..?”
“Baginda …terasi itu berasal dari udang !”
“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”
“Tidak Baginda ! siapa bilang udang berasal dari terasi ?”
Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya.
“Hajar dia! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali”
Wah-wah abu nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh.
Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana.
Kenapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila ?
Ceritanya begini:
Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunghai.
Berkata bapaknya, “Hai anakku. Aku sudah hampir mati sekarang ciumlah telinga kanan dan kiri ku.”
Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. Ia mencium telinga kanan bapaknya. Ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.
“Bagaimana anakku ? sudah kamu cium ?”
“Benar bapakku"
“Ceritakan dengan sejujurnya, bau kedua telingaku ini.”
“Aduh bapak, sungguh mengherankan, telinga kanan bapak baunya harum sekali. Tetapi yang sebelah kiri kok baunya amat busuk ?”
“Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.”
Berkata syekh Maulana.” Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak ku dengarkan pengaduanya. Inilah resiko seorang kadi. Jika kelak kau suka menjadi kadi maka akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tak suka menjadi kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih menjadi kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak sultan harun al rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai kadi.”
Sumber: Cerita-cerita Abu Nawas
Sumber: Cerita-cerita Abu Nawas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar